Setelah warga Inggris memilih meninggalkan Uni Eropa pada bulan Juni, poundsterling merespon dengan penurunan terbesar selama beberapa dekade. Namun, banyak ekonom yang berpandangan bahwa ekonomi Inggris akan diuntungkan oleh pound yang lebih lemah. Meski hasil voting Brexit mengejutkan, ekonomi belum memberikan tanda-tanda bencana. Pasar tenaga kerja Inggris justru dalam keadaan sehat. Bursa saham juga menunjukkan ketahanannya. Yield gilt Inggris tetap stabil. Beberapa laporan terkini mencatatkan penjualan rumah yang kuat.
Poundsterling telah menjadi salah satu mata uang global yang terpuruk di tahun ini. Pound turun 11% terhadap dolar AS selama dua hari trading terkait referendum tersebut. Di bulan Oktober, pound melanjutkan penurunan dengan angka 16%. Yang membuat keadaan lebih buruk adalah survei IMF bahwa Inggris turun di bawah Perancis dalam dalam hal rating kekuatan ekonomi dunia. Saat ini, Inggris berada di peringkat ke-6, kalah dari rivalnya sejak lama. Sebaliknya, ekonomi Inggris akan diuntungkan oleh nilai pound yang undervalue. Prinsip ekonomi dasar mengatakan bahwa lemahnya mata uang adalah untuk mendorong penjualan ekspor dalam jangka panjang dan penurunan konsumen domestik akan diimbangi oleh meningkatnya permintaan asing.
Dari sudut pandang ini, penurunan poundsterling yang berkelanjutan merupakan perkembangan yang diinginkan oleh para produsen Inggris. Poundsterling turun ke level terendah selama tiga dekade terhadap dolar AS. Sementara itu, order industri juga naik. Selain itu, perusahaan terbesar Inggris seperti British American Tobacco, GalxoSmithKlin dan AstraZeneca menghasilkan pendapatan yang besar di luar negeri. Sehingga saham mereka naik menyusul jatuhnya nilai pound.
