Mengutip penelitian Bank Dunia, Bloomberg memperkirakan bahwa memburuknya konflik Israel-Hamas dapat mendorong harga minyak hingga $157 per barel.
Menurut para analis, meluasnya perang di Timur Tengah yang melibatkan sejumlah negara regional lainnya dapat menyebabkan gangguan pasokan yang parah pada pasar energi global. Jika ini terjadi, pasokan minyak akan menyusut sebanyak enam hingga delapan juta barel per hari, dan dunia akan menghadapi guncangan minyak berskala besar, yang belum pernah terjadi sejak embargo minyak Arab diberlakukan pada tahun 1973. Bank Dunia memperingatkan bahwa prospek perekonomian global akan menjadi sangat buruk jika skenario ini terjadi.
Laporan tersebut menguraikan bahwa bahkan jika terjadi gangguan jangka pendek, pasokan energi global akan berkurang sebanyak 500.000 hingga dua juta barel per hari. Dengan demikian, harga minyak akan berkisar antara $93 hingga $102 per barel, sehingga menambah tekanan inflasi. Dalam skenario “gangguan sedang”, pasar hidrokarbon juga dapat terkena dampaknya. Pasokan minyak global akan turun sebanyak tiga hingga lima juta barel per hari, yang pada gilirannya akan mendorong harga hingga $121 per barel.
Yang perlu diingat, krisis minyak global pada tahun 1973 meletus setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Arab (OAPEC) mengumumkan embargo ekspor minyak ke negara-negara yang mendukung Israel dalam apa yang disebut Perang Yom Kippur melawan Mesir dan Suriah. Akibatnya, Inggris, Kanada, Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang kehilangan akses terhadap pasar minyak Timur Tengah. Pada akhir embargo di bulan Maret 1974, harga minyak dunia meningkat empat kali lipat dari $3 menjadi $12 per barel.
Sebelumnya, para analis Bloomberg memperingatkan risiko kenaikan tajam harga komoditas. Jika konflik antara Hamas dan Israel meningkat tajam dan menyebabkan konflik langsung dengan Iran, harga minyak dapat melonjak hingga $150 per barel. Dalam situasi ini, inflasi global akan meningkat menjadi 6,7% sehingga kian memperburuk kinerja perekonomian yang sudah lemah.