FX.co ★ Kiprah Pimpinan Partai Inggris dalam Sejarah
Kiprah Pimpinan Partai Inggris dalam Sejarah
Margaret Thatcher (1979–1990)
Masa jabatan Perdana Menteri perempuan pertama ini menjadi yang terpanjang dalam abad ke-20.
Margaret Thatcher, atau yang biasa disebut The Iron Lady, menerapkan sejumlah kebijakan konservatif, dengan menghidupkan kembali istilah Albion dan menyeimbangkan kekuasaan untuk partai konservatif.
Ia menjadi pembela sistem usaha bebas dan sering mengambil kebijakan sendiri dengan mengeluarkan sejumlah gagasan politik dan ekonomi yang dirancang untuk mengatasi permasalahan di Inggris pada saat itu.
Dalam kebijakan luar negerinya, Margaret Thatcher mengkritik dengan tajam kepemimpinan Soviet, dengan mendukung langkah AS mengebom Libya pada 1986.
John Major (1990–1997)
Perdana Menteri John Major dikenang akan perannya dalam Perang Teluk dan situasi genting di Irlandia Utara.
Upaya utama pemerintah selama periode ini difokuskan pada inflasi dan kelanjutan denasionalisasi karena krisis ekonomi global. Program-program kesejahteraan dikembangkan dan sistem perawatan kesehatan dan pendidikan diciptakan.
Kebijakan yang tidak pasti saat upaya penarikan pound dari sistem mata uang Eropa menyebabkan apa yang disebut sebagai Black Wednesday pada 1992. Pada hari itu, pound merosot 25 persen karena spekulasi mata uang. Pemerintah berhasil memperbaiki situasi, namun tidak dengan nasib partai konservatif.
Anthony Blair (1997–2007)
Antony Blair menjadi kepala Pemerintahan Britania selama beberapa hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-44 dan menghabiskan tiga masa jabatan berturut-turut sebagai Perdana Menteri. Sebagai pimpinan Partai Buruh, ia mengakhiri kekuasaan Partai Konservatif selama 18 tahun dalam pemerintahan dan menjadi pendiri Partai Buruh yang baru (New Labour). Blair dengan lihai mengarahkan partai konservatif dan liberal untuk menemukan kesamaan dengan UE.
Masa kekuasaan Blair ditandai dengan reformasi ekonomi yang sangat sukses. Konflik ethno-confessional diselesaikan pada era pemerintahannya. Banyak yang telah dilakukan dalam sistem kesehatan, pendidikan sekolah dan pasar lapangan kerja.
Namun, popularitas Perdana Menteri Blair menurun saat Inggris mengirimkan prajurit ke Afganistan dan Irak di bawah panduan ketat dari AS.
Gordon Brown (2007–2010)
Sifat keras dan tidak kenal kompromi Gordon Brown sangat tidak populer, namun Brown-lah yang menemukan prinsip-prinsip kunci komunikasi antar negara bagian dalam pertarungan melawan tantangan-tantangan ekonomi global.
Saat Brown menjadi Perdana Menteri, ia fokus untuk menyelamatkan sistem perbankan serta merangsang pertumbuhan bisnis dan permintaan pasar. Dalam upaya mempertahankan kekuasaan partai ia menolak mengadakan pemilihan parlemen awal pada musim gugur 2007 dan tetap menjadi Perdana Menteri tanpa proses pemilihan. Modernisasi sistem politik yang sangat diperlukan belum diselesaikan.
Brown menarik banyak prajurit Inggris dari Irak dan meraih kesuksesan besar dalam hubungan dengan Irlandia Utara. Namun, hubungan antara Rusia dan Inggris memburuk paling parah di tahun-tahun pasca Soviet. Pemerintahannya masih belum memaafkan ratifikasi Pakta Lisbon, yang memberikan banyak kekuasaan dan wewenang pada Brussels.
David Cameron (2010-2016)
Saat David Cameron menjadi Perdana Menteri, ia berhasil membuktikan bahwa Partai Konservatif tidak kehilangan keahlian untuk memerintah. Perdana Menteri muda ini melanjutkan pertarungan melawan birokrasi dan mendorong pengembangan usaha yang mandiri.
Referendum yang lama dinanti mengenai kemerdekaan Skotlandia digelar pada 2014, yang hasilnya adalah negara tersebut tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris.
Namun, beberapa tahun setelahnya, Cameron menjadi korban referendum serupa yang diadakan pada 23 Juni 2016. Sebagai pendukung keanggotaan Inggris di Uni Eropa, ia tidak menerima hasil referendum dan mengumumkan pengunduran dirinya.
Meskipun mundur, politisi ini telah mengubah peta perpolitikan Inggris, setelah memperkenalkan banyak reformasi yang sangat penting secara sosial. Ia juga memperhatikan isu-isu keamanan dan mengubah aturan untuk penggantinya.
Theresa May (2016–2019)
Theresa May menjadi perempuan kedua setelah Margaret Thatcher yang memimpin Pemerintahan Inggris. Namun, ia ternyata memiliki sifat yang sangat jauh dari The Iron Lady. Pada 24 Mei tahun ini, dilaporkan bahwa pada 7 Juni ia akan meninggalkan jabatannya sebagai Pimpinan Partai Konservatif serta jabatan sebagai Perdana Menteri Kerajaan Inggris.
Inggris tidak meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret dan proses Brexit yang belum selesai adalah satu-satunya prestasi yang ia capai sebagai Perdana Menteri Inggris. Meskipun tanggal Brexit diundur menjadi 31 Oktober, sebagian pihak meragukan jika Brexit akan benar-benar terjadi.
Bagaimanapun, masih ada harapan untuk mencapai kesepakatan saat Jean-Claude Juncker meninggalkan jabatannya sebagai pimpinan Komisi Eropa dan politisi yang keras dan pandai berbicara akan menggantikan Theresa May.