Dolar AS sedang anjlok, dan Presiden Donald Trump tampaknya tidak terganggu oleh penurunan tersebut. Bahkan, banyak analis meyakini bahwa Gedung Putih secara aktif turut andil dalam merosotnya nilai dolar. Greenback kesulitan bertahan, dan mungkin masih akan ada tekanan selanjutnya.
Menurut Bloomberg, Trump telah menyeret dolar pada kinerja terburuknya dalam 52 tahun terakhir. Seratus hari pertama masa kepresidenannya ditandai oleh volatilitas pasar dan pelemahan tajam nilai tukar dolar. Dan bisa jadi ini belum mencapai titik terendahnya.
Antara 20 Januari hingga 25 April 2025, Indeks Dolar AS (DXY) anjlok hampir 9%, menjadikannya penurunan paling tajam dalam 100 hari pertama masa jabatan presiden AS sejak era Richard Nixon, ketika AS meninggalkan standar emas dan beralih ke sistem nilai tukar mengambang.
Secara historis, 100 hari pertama presiden AS biasanya mendukung penguatan dolar. Dari 1973 hingga 2021, rata-rata penguatan dolar selama periode ini sebesar +0,9%. Namun, perang dagang global agresif yang dipicu oleh Trump telah mengubah segalanya, memicu beralihnya para investor dari aset AS dan melemahkan greenback.
Sebaliknya, arus dana justru mengalir ke aset alternatif, mendorong naik harga emas dan memperkuat mata uang utama lainnya. Euro, franc Swiss, dan yen Jepang masing-masing menguat sekitar 8% terhadap dolar dalam periode tersebut.
Menambah tekanan, agenda politik Trump meningkatkan kekhawatiran akan resesi di AS, ditambah risiko inflasi yang kembali muncul. Akibatnya, pasar kini semakin memperhitungkan kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve, meskipun waktunya belum pasti.
Pada pertengahan April, media keuangan melaporkan bahwa kebijakan Trump yang sulit diprediksi mulai membuat takut para investor global, yang kini banyak menghindari aset dalam denominasi dolar.