Mata uang tunggal Eropa sedang dituding membawa dampak destruktif. Sejumlah pakar khawatir euro bukan hanya bisa menyalip dolar AS, tetapi juga berpotensi merugikan perekonomian Eropa. Meski begitu, sejauh ini belum ada alasan kuat untuk panik. Euro belum memiliki kekuatan cukup untuk “menghancurkan” segalanya.
Menurut laporan Handelsblatt dari Jerman, penguatan euro yang berlebihan bisa menjadi masalah bagi ekonomi Uni Eropa. Kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang sulit diprediksi saat ini memberi pengaruh besar pada pasar valuta asing. Banyak analis waspada terhadap potensi ketidakseimbangan, terutama pada kurs EUR/USD. Euro terus menguat mendekati level $1,200, yang mulai membuat sebagian investor merasa tidak nyaman.
Para ekonom dan bankir sentral terpecah pendapat soal dampaknya. Sebagian memperkirakan konsekuensi negatif, seperti kenaikan harga. Namun, ada pula yang menilai tren ini tidak berbahaya. Meski begitu, mayoritas memprediksi mata uang Eropa ini akan terus menguat.
Para analis menyatakan bahwa performa euro saat ini turut membentuk kebijakan moneter Bank Sentral Eropa (ECB). Penguatan euro mungkin menekan inflasi di zona euro, bahkan mungkin membuatnya turun di bawah target 2% pada musim gugur ini. Sebagai respons, ECB berpotensi memangkas suku bunga.
Situasi ini juga memicu prediksi terjadinya krisis mata uang global yang belum pernah terjadi sebelumnya, didorong oleh beban utang negara-negara maju yang sangat besar. Tingkat utang anggota-anggota G7 kini telah melampaui 100% dari PDB. Negara dengan masalah utang paling mendesak antara lain Kanada, Prancis, Italia, Jepang, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat.