Malaysia dilaporkan sedang berdiskusi dengan Amerika Serikat untuk menurunkan tarif yang diusulkan menjadi sekitar 20%, dengan tujuan mencapai kesepakatan sebelum tarif 25% diberlakukan pada 1 Agustus, seperti yang dilaporkan oleh Bloomberg News. Pemerintahan di bawah Perdana Menteri Anwar Ibrahim menginginkan persyaratan yang adil seperti negara-negara regional lainnya seperti Indonesia dan Vietnam. Namun, Malaysia menolak tuntutan AS yang terkait dengan kendaraan listrik, batasan kepemilikan asing, dan subsidi. Meskipun Malaysia telah menangani beberapa masalah, terutama yang terkait dengan semikonduktor, negara ini menolak memperpanjang insentif pajak untuk kendaraan listrik Amerika, melonggarkan batasan kepemilikan asing di sektor energi dan keuangan, serta mengurangi subsidi untuk nelayan lokal. Perdagangan antara kedua negara mencapai $80,2 miliar pada tahun 2024, dengan Amerika Serikat mengalami defisit perdagangan sebesar $24,8 miliar. Selain itu, Menteri Investasi Zafrul Aziz telah memperingatkan bahwa perjanjian perdagangan yang tidak dirancang dengan baik dapat berpotensi membahayakan kepentingan ekonomi jangka panjang Malaysia.